Sejarah Kabupaten Sidoarjo
Pada tahun 1851 Sidoarjo masih
bernama Sidokare yang merupakan bagian dari daerah Kabupaten Surabaya. Saat itu
Sidokare dipimpin oleh seorang Patih yang bernama R.Ng.Djojohardjo dan dibantu
oleh seorang wedono bernama Bagus Ranuwirjo. Baru pada tanggal 31 Januari 1859
berdasarkan keputusan Hindia Belanda No. 9 /1859 Staatsblat No. 6 Kabupaten
Surabaya dipecah menjadi 2 , yaitu Kabupaten Surabaya dan Kabupaten Sidokare
dipimpin oleh seorang Bupati.
Bupati pertama Sidokare adalah
RT.NOTOPURO ( RTP. TJOKRONEGORO I ) yang merupakan putra Bupati Surabaya dan
bertempat tinggal di Pandean ( Sidoarjo Plasa Sekarang ). Pada masa
pemerintahan beliau inilah didirikan masjid di Pekauman ( Masjid ABROR ).
Berdasarkan keputusan pemerintah
Hindia Belanda No. 10 / 1859 tanggal 28 Mei 1859 Staatsblat No. 32 nama
Kabupaten Sidokare diganti dengan Kabupaten Sidoarjo. Tahun 1862 Bupati
Tjokronegoro I memindahkan rumah Kabupaten dari kampung Pandean ke kampung
Pucang ( Wates ). Disini beliau mendirikan Masjid Jami’ ( Masjid AGUNG )
dan disebelah barat masjid dijadikan Pesarean Pendem ( Asri ). Ketika beliau
wafat tahun 1863, jasad beliau disemayamkan dipesarean tersebut.
Pada 15 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu,
didaerah-daerah mulai dibentuk badan atau perkumpulan yang bersifat Nasional.
Pada saat itu yang berkuasa didaerah Delta Berantas adalah Kaigun (tentara laut
Jepang). Badan - badan atau perkumpulan yang bersifat Nasional mulai bibentuk
dengan nama BKR dan PTKR. Pada permulaan Maret 1946 Belanda kembali ke daerah
kita. Pada waktu menduduki Gedangan (pusat pemerintahan di kabupaten sidoarjo
saat itu), Pemerintah memindahkan pusat pemerintahan Kabupaten Sidoarjo ke
Porong.
Tanggal 24 Desember 1946 Belnda menyerang Kota Sidoarjo.
Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dipindahkan lagi yaitu kedaerah Jombang . Sesudah
Negara Jawa Timur dibentuk daerah Delta Berantas ini masuk daerah Negara Boneka
tersebut. Mulai saat itu Daerah Sidoarjo berada dibawah pemerintahan Recomba
yang berjalan hingga tahun 1949. Pada waktu itu Bupati Sidoarjo adalah:
1. K. Ng. Soebakti Poespanoto;
2. R. Suharto.
1. K. Ng. Soebakti Poespanoto;
2. R. Suharto.
Tanggal 27 Desember 1949 Belanda menyerahkan kembali
Pemerintahan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Pada waktu itu juga daerah
Delta Brantas menjadi daerah Republik Indonesia.
Sesudah
penyerahan kembali kedaulatan kepada Pemerintah RI berdasarkan Undang-Undang
Nomor 22/1948. R Suryadi Kertosoeprojo diangkat menjadi Bupati/Kepala Daerah di
Kabupaten Sidoarjo.
Kebudayaan- Kebudayaan di Kabupaten Sidoarjo
1. Bahasa
Bahasa yang berkembang di daerah Sidoarjo dikenal
dengan sebutan Bahasa Arek. Bahasa Arek merupakan bahasa keseharian warga Kota
Surabaya dan kabupaten pecahan Kota Surabaya, yaitu Sidoarjo, Mojokerto,
Gresik.
2. Tradisi
a. Lelang
Bandeng
Setiap
tahun di Kabupaten Sidoarjo tepatnya dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad
SAW diadakan kegiatan lelang bandeng tradisional bertempat di alun-alun
Sidoarjo.
Lelang bandeng tradisional diadakan dengan
tujuan selain menjunjung tinggi peringatan Maulid nabi Muhammad
SAW juga mempunyai maksud menjadikan cambuk untuk
meningkatkan produksi ikan bandeng dengan pengembangan motivasi dan
promosi agar petani tambak lebih meningkatkan kesejahteraannya.
Lelang bandeng adalah merupakan usaha dengan tujuan
mulia, karena hasil bersih uang seluruhnya digunakan untuk
kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan melalui yayasan amal bhakti Muslim
Sidoarjo.
Tradisi lelang bandeng selalu dibarengi dengan
kegiatan-kegiatan lainnya yaitu pasar murah, berbagai macam hiburan tanpa
dipungut biaya, antara lain Band, Orkes Melayu, Ludruk, Samroh dan lomba
MTQ tingkat kabupaten.
Bandeng yang dilelang dinamakan bandeng
“KAWAKAN“ yang dipelihara khusus antara 5 – 10 tahun dan mencapai berat 7
Kg sampai 10 Kg per ekor.
b.
Nyadran
Di Jawa, pada bulan Ruwah ( kalender Jawa ) ada
tradisi yang dinamakan Ruwatan. Bentuk –bentuk Ruwatan ini dapat berupa bersih
Desa ,Ruwah desa atau lainnya.
Di Sidoarjo tepatnya di Desa Balongdowo
Kecamatan Candi ada tradisi masyarakat yang dilakukan setiap bulan Ruwah
pada saat bulan purnama.
Tradisi tersebut dinamakan Nyadran, Nyadran ini
merupakan adat bagi para nelayan kupang desa Balongdowo sebagai ungkapan rasa
syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Bentuk kegiatan Nyadran berupa pesta peragaan cara mengambil
kupang di tengah laut selat Madura.
Nyadran di Sidoarjo mempunyai ciri khas tersendiri.
Kegiatan Nyadran dilakukan oleh masyarakat Balongdowo yang mata pencaharian
sebagai nelayan kupang, pada siang harinya sangat disibukkan dengan kegiatan
persiapan pesta upacara meski puncak acaranya pada tengah malam.
Kegiatan ini dilakukan pada dini hari sekitar pukul 1
pagi. Orang- orang berkumpul untuk melakukan keliling. Perjalanan dimulai dari Balongdowo Kec, Candi
menempuh jarak 12 Km. Menuju dusun Kepetingan Ds. Sawohan Kec. Buduran.
Perjalanan ini melewati sungai desa Balongdowo, Klurak kali pecabean, Kedung
peluk dan Kepetingan ( Sawohan ).
Ketika
iring-iringan perahu sampai di muara kali Pecabean perahu yang ditumpangi anak
balita membuang seekor ayam. Konon menurut cerita dahulu ada orang
yang mengikuti acara Nyadran dengan membawa anak kecil dan anak kecil
tersebut kesurupan. Oleh karena itu untuk menghindari hal tersebut masyarakat
Balongdowo percaya bahwa dengan membuang seekor ayam yang masih hidup ke
kali Pecabean maka anak kecil yang mengikuti nyadran akan terhindar dari
kesurupan/ malapetaka.
Sekitar
pukul. 04.30 WIB. Peserta iring-iringan perahu tiba di dusun Kepetingan Ds.
Sawohan . Rombongan peserta nyadran langsung menuju makam dewi
Sekardadu untuk mengadakan makan bersama. Sambil menunggu fajar tiba,
peserta nyadran tersebut berziarah, bersedekah, dan berdoa di makam tersebut
agar berkah terus mengalir. Menurut cerita rakyat Balongdowo Dewi sekardadu
adalah putri dari Raja Blambangan yang bernama Minak Sembuyu yang
pada waktu meninggalnya dikelilingi “ ikan kepiting “ itulah sebab mengapa
dusun tersebut dinamakan Kepetingan. Tetapi orang-orang sering menyebut Dusun
Ketingan.
Setelah
dari makam Dewi Sekardadu, sekitar pukul 07.00WIB. Perahu-perahu itu menuju
selat Madura yang berjarak sekitar 3 Km. Sekitar pukul 10.00 WIB. iring-iringan
perahu tersebut mulai meninggalkan selat Madura. Kemudian mereka kembali ke Ds
Balongdowo. Sepanjang Perjalan pulang ternyata banyak masyarakat berjajar di
tepi sungai menyambut iring-iringan perahu tiba. Mereka minta berkat/makanan
yang dibawa oleh peserta nyadran dengan harapan agar mendapat berkah.
Ada
satu proses dari pesta nyadran ini yaitu “ Melarung tumpeng “ Proses ini
dilakukan di muara /Clangap ( pertemuan antara sungai Balongdowo, sungai Candi,
dan sungai Sidoarjo ). Proses ini diadakan bila ada pesta Nyadran atau nelayan
kupang yang mempunyai nadzar /kaul.
3.
Kesenian
a.
Wayang Kulit
Jenis
wayang kulit yang ada di Sidoarjo sebagian besar adalah wayang kulit gaya Jawa
Timuran (gaya Wetanan) dan sebagian kecil gaya Kulonan. Hampir semua kecamatan
memiliki dalang wayang kulit Wetanan ini, diantaranya: Tarik, Balungbendo,
Krian, Prambon, Porong, Tulangan, Sukodono, Candi, Sidoarjo, Gedangan dan Waru.
Gaya Wetanan
ini dapat dibagi lagi dalam penggolongan pecantrikan, yaitu:
a. Ki Soewoto Ghozali (alm) dari Reno Kenongo, Porong
b. Ki Soetomo (alm), dari Waru
c. Ki Suleman (alm), Karangbangkal, Gempol
a. Ki Soewoto Ghozali (alm) dari Reno Kenongo, Porong
b. Ki Soetomo (alm), dari Waru
c. Ki Suleman (alm), Karangbangkal, Gempol
Dari segi musik, instrumennya menggunakan
gamelan slendro, mirip yang digunakan dalam ludruk. Berbeda dengan gaya Kulonan
yang menggunakan gamelan slendro dan sekaligus pelog. Namun kemudian wayang
gaya Wetanan juga menggunakan gamelan pelog, terutama untuk mengiringi
adegan-adegan tertentu.
Mengikuti selera konsumen, pergelaran
wayang kulitpun akhirnya dilengkapi dengan campursari bahkan juga musik
dangdut. Malah sudah sejak lama wayang Wetanan disertai pembuka tarian Remo
segala, dimana pengunjung diminta memberikan saweran yang dulu diselipkan ke
dada.
Keberadaan
wayang kulit di Sidoarjo semakin menurun karena tidak ada kaderisasi. Hanya ada
satu dalang cilik, anak Subiyantoro yang juga dalang. Juga tidak ada lembaga
formal atau nonformal yang mengajarkan wayang gaya Wetanan secara utuh, bukan
hanya disentuh saja. Belum lagi keterbatasan naskah yang siap dipentaskan.
b.
Reog Cemandi
Reog Cemandi
adalah kesenian asli Sidoarjo. Kesenian itu muncul pada tahun 1926.
Reog Cemandi
berbeda dengan Reog Ponorogo. Yang membedakan adalah tidak adanya warok, dan
topengnya tidak dihiasi dengan bulu merak seperti ciri khas reog Ponorogo.
Irama musik yang digunakan adalah angklung dan kendang kecil.
Jumlah pemain Reog Cemandi
sekitar 13 orang. Dua penari yang memakai topeng Barongan Lanang (laki-laki)
dan Barongan Wadon (perempuan), enam penabuh gendang dan empat pemain angklung.
Saat memainkan tarian itu,
dua penari Barongan Lanang dan Barongan Wadon mengiringi penabuh gendang yang ada di tengahnya. Enam penabuh
gendang itu membentuk formasi
melingkar sambil mengikuti irama.
Dulunya, reog Cemandi
adalah pertunjukan yang dipakai masyarakat desa Cemandi, kecamatan Sedati untuk mengusir penjajah Belanda. Waktu itu, salah
satu kyai dari Pondok Sidoresmo Surabaya,
menyuruh masyarakat setempat untuk membuat topeng dari kayu pohon randu. Topeng itu dibentuk menyerupai wajah buto
cakil dengan dua taring. Setelah itu,
masyarakat setempat melakukan tari-tarian untuk mengusir penjajah yang akan memasuki desa Cemandi.
Selain untuk mengusir penjajah pada waktu itu, tarian
tersebut juga sebagai himbuan kepada masyarakat sekitar untuk selalu mengingat
Tuhan Yang Maha Esa. Anjuran itu tersirat dalam sair pangelingan
(pengingat) yang dilantunkan pemainnya sebelum memulai pertunjukan. “Lakune wong urip eling gusti ning tansah ibadah ing tengah ratri,”
ucap Arif Juanda menirukan sair itu.
Kini, pertunjukan reog Cemandi itu sudah berubah
fungsi. Masyarakat sekitar biasa mengundang kesenian Reog Cemandi itu untuk
hajatan mantenan, sunatan atau acara lainnya. Selain itu, masyarakat sekitar
percaya, bahwa tarian reog Cemandi bisa untuk menolak balak (membuang sial).
“Kalau arak-arakan pasti kami yang di depan. Karena untuk menolak balak,”
tegasnya lagi.
c.
Wayang Potehi
Kesenian
adalah kesenian khas China, keberadaannya melekat dengan klenteng atau rumah
ibadah Tionghoa. Di Sidoarjo ada di klenteng Tjong Hok Kiong di Jalan Hang
Tuah, di kawasan Pasar Ikan.
Di
Sidoarjo, wayang potehi hanya digelar saat perayaan hari jadi Makco Thian Siang
Seng Bo di Kelenteng Tjong Hok Kiong, Jalan Hang Tuah Sidoarjo. Acara tahunan
ini juga diisi dengan hiburan rakyat untuk warga sekitar kelenteng. Untuk
memeriahkan HUT Makco, Subur biasanya menggelar pertunjukkan wayang potehi
selama satu bulan penuh di kompleks kelenteng. Wayang potehi di Sidoarjo
merupakan bagian dari ritual umat Tridharma ketimbang hiburan biasa. Karena
itu, jarang sekali orang luar yang menikmati kesenian langka ini. Padahal,
unsur hiburan dan intrik di wayang potehi justru lebih banyak daripada wayang
kulit.
d.
Jaran Kepang
Kelompok seni tradisi jaranan hampir punah di Kabupaten
Sidoarjo, tak sampai hitungan jari sebelah tangan. Sebelum 1980-an, cukup
banyak grup jaranan yang menggelar atraksi hiburan di kampung-kampung.
Kelompok-kelompok seni Jaranan atau Jaran Kepang yang selama ini ada di
Sidoarjo bisa dikatakan bukan asli atau berdomisili di Sidoarjo. Mereka berasal
dari luar kota, seperti Tulungagung, yang sengaja ngamen di Sidoarjo dalam
waktu beberapa lama. Diperkirakan ada sekitar 10 grup. Namun ada satu grup
Jaran Kepang versi Sidoarjo, yang agak berbeda dengan Jaran Kepang pada
umumnya. Yakni, ketika dalam masa trance, pemainnya memanjat pohon kelapa
dengan kepala menghadap ke bawah. Grup ini hanya ada di desa Segorobancang,
kec. Tarik.
e.
Tari Ujung
Di daerah lain disebut Seni Tiban. Pertunjukan ini berupa
tari dan dimaksudkan untuk meminta hujan. Pertunjukan dua lelaki atau dua
kelompok lelaki bertelanjang dada, saling mencambuk dengan rotan secara
bergantian. Dapat digolongkan seni pertunjukan karena memang ditampilkan
sebagai tontonan. Kadang dimainkan di atas panggung namun masih ada juga yang
menggunakan lapangan terbuka. Di berbagai daerah, Ujung merupakan ritual untuk
mendatangkan hujan, namun Ujung Sidoarjo memiliki latar belakang sejarah
sebagai peninggalan masa kerajaan Majapahit, dimana penduduk disiapkan melatih
kanuragan melawan musuh. Kelompok Seni Ujung terdapat di kecamatan Tarik.
4.
Cagar budaya
a.
Candi Pari
Candi Pari terletak di kecamatan Porong, Sidoarjo. Candi
Pari merupakan candi peninggalan kerajaan Majapajit. Candi Pari didirikan
sekitar tahun 1293 saka (1371 masehi). Candi ini
didirikan pada masa pemerintahan Raja Hayamwuruk. Candi ini memiliki ciri- ciri
yang berbeda dari candi byang ada di Jawa Timur lainnya. Candi ini cenderung
terpengaruh dengan kesenian Champa (salah satu nama wilayah di Vietnam) jika
dilihat dari bentuknya yang agak tambun dan tampak kokoh seperti
candi-candi di Jawa Tengah.
Candi Pari berdiri
diatas
bidang tanah ukuran 13,55 * 13,40 meter, dengan ketinggian 13,80 meter. Bangunan
Candi Pari didominasi oleh bata merah pada bagian badannya, sedangkan ambang
atas dan bawah pintu masuk bilik candi menggunakan batu andesit. Bagian kaki
candi memiliki ukuran 13,55 * 13,40 meter dn tinggi 1,50 meter, pada bagian ini
terdapat dua buah jalan masuk ke bilik candi dalam bentuk susunan/trap anak
tangga dengan arah utara-selatan dan selatan-utara, jalan masuk seperti
ini tidak ditemui dalam candi-candi lain dijawa timur. Pada bagian dalam bilik
candi saat ini tidak ditemukan arca sama sekali, akan tetapi dibagian tengah
dari sisi dinding timur ( diantara lubang angin ) terdapat sebuah tonjolan
sebagai sandaran dinding arca. Dulu daerah sekitar candi pernah ditemukan dua
arca Siwa Mahadewa, dua arca Agastya, tujuh arca Ganesha dan tiga arca Budha
yang semuanya telah disimpan di Museum Nasional Jakarta.
Candi
Pari tidak memiliki ornamen. Pada kaki candi terdapat hiasan berbentuk panel
yang polos tanpa hiasan. Sedangkan dibagain tubuh candi terdapat pahatan
semacam panel-panel besar polos tanpa hiasan. Di dinding barat tepat diatas
pintu masuk terdapat hiasan segitiga sama sisi dengan bagian kecilnya berada di
atas. Pada bagian tengah dinding utara, timur dan selatan terdapat hiasan
miniatur yang atapnya bertingkat lima dengan puncaknya berbentuk kubus, bagian
atas ambang pintu dan pada masing-masing tingkatan atap miniatur candi terdapat
hiasan teratai dan dipuncaknya ada hiasan (angka) atau Sangkha. Candi pari yang
ada saat ini merupakan hasil pemugaran
tahun 1994-1999 oleh Kanwil Depdikbud dan Suaka Peninggalan Sejarah dan
Purbakala Jawa Timur melalui dana Proyek Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan
Sejarah dan Purbakala Jawa Timur.
b.
Candi Sumur
Candi Sumur merupakan candi yang juga masih satu
lokasi dengan Candi Pari. Mungkin hanya berjarak kurang lebih 100 meter.
Berbeda dengan Candi Pari yang berukuran lumayan
besar, Candi Sumur memiliki ukuran yang lebih kecil, mungkin hanya separuhnya
dan hanya berhasil dipugar separuhnya saja.
Semua orang yang melihat candi ini pasti akan heran.
Karena sisi yang tegak hanya separuhnya saja dan ini akan membuat Candi Sumur
rawan untuk runtuh. Tetapi sekarang dibangun kerangka
dari semen yang berfungsi sebagai penopang dan pengikat susunan badan candi
yang masih ada.
Candi
Sumur ini diperkirakan dibangun bersamaan dengan Candi Pari, dan seperti halnya
Candi Pari, Candi Sumur juga terbentuk dari susunan batu bata merah bukan dari
batu andesit yang umumnya kita jumpai pada candi-candi lain. Pada bangunan
candi ini juga tidak ditemukan ukiran atau relief-relief yang mendhias dinding
atau kaki candi. Bentuk unik hanya terlihat dari susunan anak tangga yang
berada di sisi selatan candi. Anak tangga ini cukup "curam" dan tidak
memiliki dinding tangga di bagian sisinya, sehingga perlu perhatian extra bila
pengunjung ingin menaikinya dikarenakan bata penyusun anak tangga atau tempat
berpijak kaki itu sendiri tidak tersusun rata dan rapi. Memang, meskipun Candi
Sumur tampak jelas telah mengalami renovasi, namun batu-batu penyusun candi
nampak belum diatur dengan rapi dan ditambah dengan batu-batu pengganti untuk
sisi-sisi yang hilang. Bentuk candi yang berhasil direnovasi juga belum mampu
memberikan gambaran secara lebih jelas dan pasti akan lekuk-lekuk badan dan
sudut-sudut candi.
c.
Candi Dermo
Candi Dermo terletak di Dusun Dermo
Desa Candi Negoro Kecamatan Wonoayu Kabupaten Sidoarjo. Candi Dermo berukuran tinggi 13,5 meter,
panjang 6 meter dan lebar 6 meter.
Saat ini, Candi Dermo sedang dalam
perencanaan akan di renovasi. Sebenarnya candi ini sudah pernah direnovasi pada
jaman penjajahan belanda, namun renovasi yang dilakukan nampaknya merubah wajah
candi, karena lebih bersifat mempertahankan candi dari keruntuhan daripada
upaya menyusun ulang badan candi.
Bagian dalam candi sangat sempit. Ini karena pada masa
pemerintahan Belanda dilakukan pemugaran dan pemugaran ini menambah
bagian dalam sedemikian rupa sehingga bisa menyokong bangunan dari kemungkinan
runtuh. Tetapi ada perbedaan antara batu asli candi dengan batu hasil pemugaran
Belanda. Batu bata hasil pemugaran semasa penjajahan Belanda mempunyai ukuran
yang lebih kecil dan tipis dibandingkan batu bata asli penyusun candi.
Pada kompleks candi Dermo, terdapat 4 buah
Arca dengan 2 macam jenis, yakni Arca Manusia Bersayap dan Arca Kolo. Namun
sayangnya, sekarang salah satu dari arca-arca tersebut ada yang sudah hancur,
sehingga kini Candi Dermo hanya memiliki 3 Arca saja.
Yang disayangkan juga adalah bentuk apa yang hendak ditampilkan pada kedua
patung tersebut sudah susah untuk dikenali lagi karena arca sudah rusak.
Candi Dermo dibangun pada Masa kerajaan Majapahit,
pada wangsa Raja Hayam Wuruk. Candi bercorak hindu ini berdiri pada tahun 1353
dibawah pimpinan Adipati Terung yang sekarang makamnya terdapat di Utara Masjid
Trowulan.
Candi ini termasuk salah satu kompleks candi yang
dibangun oleh Kerajaan Majapahit sebagai bukti akan luasnya daerah kekuasaan
yang dimiliki. Candi ini sebenarnya merupakan Gapura atau Pintu
Gerbang, orang Jawa mengatakan Gapura Ke Bangunan Suci. Arti
dari Bangunan suci sendiri adalah bangunan induk yang biasanya terletak di
sebelah timur candi. Begitupula dengan Candi Dermo, sebenarnya dahulu di
sebelah timur Candi ada bangunan induk yang ukurannya lebih besar, namun
sekarang bangunan induk tersebut sudah pupus dimakan waktu dan akhirnya roboh.
Oleh masyarakat jaman dulu, lahan puing-puing bangunan induk tersebut dijadikan
pemukiman oleh warga sekitar.
d. Candi Pamotan
Candi Pamotan terletak
di desa Pamotan kecamatan Porong. Atap candi ini sudak hilang dan candi ini
lebih menjorok ke dalam maka dari itu apabila musim hujan tiba, candi ini kerap
digenangi air.
Lebar Candi Pamotan hanya sekitar satu meter saja. Candinya sendiri hanya berupa tumpukan bata
merah karena atap dan badan candi sudah runtuh.
Meskipun berada di daerah kekuasaan kerajaan Majapahit, candi
ini belum bisa dikatakan sebagai situs peninggalan kerajaan Majapahiyt
e. Candi Medalem
Candi ini sangat
berbeda dengan candi- candi lainnya yang ada di Sidoarjo. Candi Medalem hanya berupa
tumpukan batu bata merah yang disusun memanjang entah berapa meter panjangnya.
Candi yang ditemukan tahun 1992 oleh Pak
Tamaji ini diperkirakan sebagai tempat pembakaran atau mungkin fondasi candi. Tidak ada berita jelas mengenai
situs bersejarah ini. Karena papan penunjuk sejarah tidak ada. Bahkan papan
larangan untuk tidak merusak situs sudah rusak dan berkarat.
Nasib candi ini sangat
tragis. Bahkan bata-bata
yang memanjang itu sudah tinggal sedikit karena sisanya terkubur di bawah
pohon-pohon pisang dan rumah penduduk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar